Apa yang diperdengarkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada sidang pencatutan nama presiden dan wakil presiden Jokowi-JK telah membuktikan bahwa setidaknya Presiden Jokowi benar-benar menggunakan hak perogratifnya sebagai seorang presiden, artinya tidak ada satu pihak pun yang mampu mempengaruhi pola pikir dan tindakannya dalam mengambil keputusan, termasuk Megawati, Surya Paloh, dan pentinggi partai lainnya sekaipun. Yang mempengaruhi keputusannya adalah hati nuraninya sendiri terhadap rakyatnya sendiri, ya rakyat Indonesia.
Dalam rekaman percakapan tersebut, beberapa keluhan Setya Novanto dan teman-temannya yang membicarakan jika Presiden Jokowi adalah presiden yang susah diajak untuk kompromi, ditambah lagi dengan menterinya yang anti pro-asing seperti Susi Pujiastuti, Rahmat Gobel, dan Sudirman Said. Begitu juga ketika Setya Novanto menjelaskan bahwa “Megawati marah ketika Jokowi tidak mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri” karena yang di angkat jadi Kapolri pada akhirnya adalah Badrodin Haiti, bukan Budi Gunawan seperti yang Percakapan antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto bersama pengusaha minyak M Riza Chalid dengan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin tak melulu soal saham. Setya dan Riza juga membicarakan soal sifat Jokowi yang dikenal keras kepala.
Saking keras kepalanya, Jokowi bahkan disebut berani melawan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Komjen Budi Gunawan.
Cerita Jokowi melawan Megawati ini terjadi saat pencalonan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Saat itu, Jokowi akhirnya membatalkan pencalonan Budi karena mantan ajudan Megawati itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam rekaman percakapan yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Rabu (2/12/2015), Riza menyebut Jokowi habis dimarahi Megawati akibat keputusannya itu.
"Di Solo ada… ada Surya Paloh, ada si Pak Wiranto pokoknya koalisi mereka. Dimaki-maki Pak, Jokowi itu sama Megawati di Solo. Dia tolak BG. Gila itu, saraf itu," kata Riza.
"Padahal, ini orang baik kekuatannya apa, kok sampai seleher melawan Megawati. Terus kenapa dia menolak BG," tambah dia.
Jokowi tolak keinginan Budi Gunawan
Riza pun bercerita soal kedekatannya dengan Kapolda Papua saat Pemilihan Presiden 2014 lalu, Irjen Tito Karnavian.
"Kapolda Papua itu kan sahabat saya, sahabat deket," ungkap dia.
Namun, Tito akhirnya digeser Jokowi menjadi Kapolda Metro Jaya. Padahal, Budi Gunawan yang saat itu menjadi Kepala Lemdikpol ingin agar orang lain yang menempati posisi itu.
"Tito. Akhirnya ditarik ke Jakarta supaya nggak menyolok, jadi Asrena. Sekarang Papua sudah jalan, kasih hadiah sama Jokowi. Padahal maunya Jakarta bukan dia. Pak BG maunya bukan Tito. Pak BG maunya Pak Budi. Tapi, Budi ditaruh Bandung. Tito Jakarta. Yang minta Jokowi," kata Riza.
"Jawa Barat ha-ha-ha," kata Setya.
"Gila Pak. Alot Pak orangnya Pak," ungkap Riza.
Mendengarkan cerita Setya dan Riza panjang lebar soal Jokowi, Maroef hanya memberikan respons singkat.
"Pengalaman itu, maksudnya saya pengalaman itu. Jadi kita harus pakai akal. Kita harus pakai ini. Kuncinya kan ada kuncinya. Kuncinya kan ada di Pak Luhut, ada saya. Nanti lempar-lemparan. Ada dia strateginya. Cek gocek," kata Setya.
dimaksudkan oleh Pimpinan partai pengusung utama, PDI-Perjuangan.
Jadi, sangat wajar jika Setya Novanto dan kolleganya memperalat dan mendekati orang-orang terdekat Joko Widodo, terutama Luhut Panjaitan agar rencana mereka berjalan dengan mulus. Tetapi tidak semudah itu, mereka tahu bahwa Jokowi memiliki hati yang sangat keras jika menyangkut masalah Freeport. Dalam rencana Joko Widodo, PT. Freeport bersama Indonesia wajib melakukan divestasi saham atas Freeport, tuntutan kesejahteraan rakyat Papua, pengolahan limbah, dan pembangunan smelter yang tentunya sangat menguras biaya dan tenaga Freeport itu sendiri. Opsi terakhir yang di tawarkan oleh Jokowi soal Freeport adalah kontrak diputuskan atau tidak diperpanjang lagi sehingga pengelolaan sepenuhnya ada di Indonesia.
Anggota Koalisi Merap Putih itu sendiri telah mengakui secara jujur dan terang-terangan jika Jokowi tidak disetir oleh siapapun. Anggapan sejak masa pencalonan bahwa Jokowi adalah “Presiden Boneka” jelas salah dan tidak benar. Indonesia saatnya berbangga memiliki seorang presiden seperti Jokowi yang tegas dan benar-benar membela kepentingan rakyat. Jokowi adalah Jokowi yang dulu kita kenal, tanpa kompromi, tanpa neko-neko. Beruntung Indonesia memiliki seorang Jokowi, Indonesia patut berterima kasih kepada Tuhan karena masih ada pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya.
0 komentar:
Post a Comment